Disetiap langkahku
Didalam detak jantung
Tak pernah aku meragu
Hanya engkau yang dihatiku
Berlelah-lelah dahulu
Bersenang-senang kemudian
Tiada suatu yang besar
Tanpa perjuangan yang hebat
Manjadda Wajada…Manjadda Wajada
Manjadda Wajada…Manjadda Wajada
Air yang mengalir jernih
Takkan keruh mengenang
Jangan surutkan langkah
Yakin dan penuh ketulusan
Siapa yang bersungguh-sungguh dia kan berhasil
Siapa yang bersungguh-sungguh dia kan berhasil
Malam berteman bintang
Siang sang matahari
Takkan ku patah arang
Hadapi semua rintangan
Merinding saya ketika mendengar kalimat "Man Jadda
Wajada" pada lagu di atas. Seketika bulu-bulu kudukku berdiri dengan
gagahnya.
Iya kemarin rabu saya sempat nonton film Negeri 5 Menara
yang kata orang-orang mampu memberikan semangat hidup, semangat untuk menggapai
cita-cita. Memang dari bulan sebelumnya saya sudah merencanakan untuk nonton
film ini yang diadaptasi langsung dari Novel best seller dengan judul yang sama
Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi.
Setelah berkendara cukup jauh dari rumahku yang berada di
pinggiran Tanjungsari menuju Jatinangor akhirnya sampai juga di 21cinemaplex,
bioskop satu-satunya di Jatinangor. Kebetulan sekali pas beli tiket terdengar
suara "Pintu teater dua telah dibuka" dan langsunglah diriku beserta
kedua sahabatku masuk menuju tempat gelap itu. Hah cuman ada beberapa orang
yang nonton tak lebih dari 20 orang. Emang saya telat nonton ini film dan ini
dua minggu setelah tayang perdana di tanggal 1 Maret kemarin.
Awalnya sih kalem-kalem aja nonton ni film, masih bisa
ngobrol sana-sini sambil menyeruput Hot Chocolate yang terasa sebagai selimut
di malam yang dingin itu (jiaghhh lebay abisss). Tapi lama kelamaan Si Hot
Chocolate saya campakan dengan ditaruh ditempat minuman, mata mulai fokus ke
arah layar besar yang terpampang di depan mata.
"Ini awal ceritanya mirip banget sama gwa", bisik
dalam hati.
Sempat mau dikirim ke pesantren tapi saya dengan ego yang
besar menolak dan ingin lanjut ke SMA, tak seperti Alif (tokoh utama dalam film
Negeri 5 Menara) yang masih bisa menuruti keinginan orang tuanya walaupun
dengan setengah hati.
Scene demi scene silih berganti. Mulai berasa tersindir saya
-__-
Alif yang baru lulus SMP sudah punya cita-cita yang tinggi
dengan ingin sekolah ke SMA supaya bisa melanjutkan kuliah di ITB seperti tokoh
idolanya Bj. Habibie. Sementara saya yang sudah lulus SMA hampir 5 tahun silam
ini tak tahu hidup ini harus dibawa kemana.
Alif yang masih muda dengan berani merantau ke Jawa Timur
dari daerah asalnya di Maninjau, Minangkabau walaupun dia agak terpaksa. Lah
ini, kebalikannya saya tak pernah bisa lama-lama jauh dari kampung halaman
tempatku dilahirkan. Pernah dulu waktu menuntut ilmu di UPI karena dengan sifat
saya yang tak bisa jauh dengan orang tua harus bolak-balik Tanjungsari-Bandung
tiap harinya, memang tak efektif dan akhirnya saya harus menyerah dengan
keadaan dan tak melanjutkan bersekolah di UPI.
Alif yang walaupun setengah hati masuk ke Pondok Madani tapi
dia tetep dengan sekuat tenaga berjuang untuk belajar dengan giatnya.
Bandingkan lagi dengan saya yang masuk ke UPI dengan keinginan sendiri bahkan
diberi jalan yang amat lancar sangat menyia-nyiakan kesempatan menuntut ilmu di
Universitas pencetak guru-guru terbesar di Indonesia ini.
Tapi dari banyaknya perbedaan saya dengan Alif ada juga
persamaanya. SAHABAT.
Ya, SAHABAT. Sahabat yang selalu memberi semangat dalam
kondisi apapun dan selalu ada baik suka dan duka menjadi obat kegalauanku yang
tak ada di Apotik manapun.
"Man Jadda Wajada" -Siapa yang bersungguh-sungguh,
akan berhasil-
Semoga kata mantra itu mampu menyihir saya yang sudah lama
tertidur dalam mimpi semu ini. Amin
0 comments:
Posting Komentar